Sebelum abad ke 18, Madura terdiri dari kerajaan-kerajaan yang saling bersaingan, akan tetapi sering pula bersatu dengan melaksanakan politik perkawinan. Diantaranya kerajaan-kerajaan tersebut adalah Arosbaya, Blega, Sampang, Pamekasan dan Sumenep.
Disamping itu kerajaan-kerajaan di Madura berada dibawah supremasi dari kerajaan yang lebih besar yang kekuasaannya berpusat di Jawa. Antara tahun 1100-1700, kerajaan-kerajaan itu berada dibawah supremasi kerajaan Hindu di Jawa Timur, kerajaan-kerajaan Islam dipesisir Demak dan Surabaya serta kerajaan Mataram di Jawa Tengah.
Peda pertengahan abad ke 18, Madura berada di bawah pengarush VOC/Kompeni Belanda. Setelah Kompeni dibubarkan pada tahun 1879, Madura dengan berangsur-angsur menjadi bagian dari Kolonial Belanda sampai dengan masa pendudukan Bala Tentara Jepang.
Setelah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, Pulau Madura berstatus sebagai Karesidenan dalam Propinsi Jawa Timur. Pada akhir tahun 1947, Madura diduduki kembali oleh Pemerintah Penjajah Belanda. Untuk memperkuat cengkramannya atas Pulau Madura, seperti halnya terhadap daerah lainnya di Indonesia yang didudukinya,pada tahun 1948 Pemerintah Penjajah Belanda membentuk Negara Madura. Status sebagai negara tersebut berlangsung sampai kurun waktu pengakuan kedaulatan Republik Indonesia Serikat pada tahun 1949-1950 oleh Belanda.
Dalam Negara Republik Indonesia Serikat (RIS), Madura merupakan salah satu Negara Bagian bersama-sama dengan Negara-Negara Bagian lainnya, seperti Republik Indonesia Yokyakarta, Indonesia Timur, Pasundan, Sumatra Timur, Sumatra Selatan, Jawa Timur, Kalimantan Barat. Status adura didalam wadah RIS hanya berusia pendek, karen pada tahun 1950 itu juga Rakyat Madura telah membubarkan Parlemen dan Negara Madura, dan kembali bergabung dengan Republik Indonesia (kesatuan di Yogyakarta).
SEMANGAT BERJANG MELAWAN PENINDASAN DAN PENJAJAHAN
Sejak jaman dahulu kala, orang-orang Madura memiliki semangat untuk melawan segala bentuk penindasan dan penjajahan baik yang dilakukan oleh kekuasaan dan kekuatan dari luar. Ha tersebut dapat kita ketahui baik dari legenda-legenda yang berkembang di kalangan rakyat Madura maupun buku-buku/tulisan-tulisan dan laporan-laporan penguasa yang pernah memerintah Pulau Madura.
1. Menurut cerita jaman kuno (± abad pertama Masehi), yang ditulis diatas daun lontar,
pada suatu saat kerajaan Mendangkawulan kedatangan musuh dari negeri Cina.
Didalam peperangan tersebut Mendangkawulan berkali-kali menderita kekalahan,
sehingga kedatangan seorang yang sangat tua dan berkata bahwa di Pulau Madu Oro
(Madura) bertempat tinggal anak muda bernama Raden Segoro (Segoro = laut). Raja
dianjurkan minta bantuan kepada Raden Segoro jika didalam peperangan ingin
menang. Raden Segoro berangkat dengan membawa senjata Si Nengolo dan
berperanglah untuk mengusir tentara Cina. Tentara musuh banyak yang tewas dan
kerajaan Mendangkawulan menang dalam peperangan.
2. Cerita lain tentang kepahlawanan oerang-orang Madura, ialah terjadi sekitar berdirinya
kerajaan Majapahit dalam abad ke 13, orang Maduralah yang membuka hutan Tarikdan
mendapat bauh maja yang pahit, sehingga daerah baru tersebut disebut Majapahit.
Tokoh-tokoh Madura diantaranya ialah Wiraraja, Lembu Sora, Ranggalawe, yang
membantu Raden Wijaya sehingga mencapai punjak keberhasilannya dalam
mendirikan kerajaan. Sewaktu Raden Wijaya dikejar oleh tentara Jayakatwang dan
kerajaan Singosari runtuh, ia mengungsi ke Sumenep minta perlindungan dan bantuan
kepada Raden Wiraraja dan sang Adipati Madura inilah yang menyusun rencana agar
Raden Wijaya pewaris tahtakerajaan Singosari dapat kembali berkuasa. Memang
Wiraraja atau yang disebut Banyak Wide adalah aktor intelektualitas yang
memenangkan perang terhadap tentara Tartar yang dikirim oleh Kubelai Khan untuk
menaklukkan kerajaan Jawa.
Tentara Tartar mengalahkan kerajaan Jayakatwang Kediri,tetapi tentara Tartar ini pula
dihancurkan oleh Raden Wijaya dengan bantuan orang-orang Madura yang
bersemangat tinggi dalam berperang untuk mengusir musuh.
3. Peristiwa lain terjadi disekitar abad ke 15, ketika Dempo Awang (Sam Poo Tualang)
seorang Panglima Perang dari Negeri Cina nenunjukkan kekuasaannya kepada
raja-raja di Jawa dan Madura, agar mereka tundek kepadanya. Didalam peperangan itu,
Jokotole dari Madura melawan Dempo Awang yang menaiki kapal layar yang dapat
berlayar di laut, diatas gunung diantara bumi dan langit. Demikian menurut cerita
legenda.
Didalam peperangan itu Jokotole mengendarai Kuda Terbang, pada suatu saat setelah
ia mendengar suara dari pamannya (Adirasa), yang berkata "pukul", maka Jokotole
menahan kekang kudanya dengan keras dan ia menoleh sambil memukul cemeti
(cambuknya) mengenai musuhnya sehingga hancur luluh jatuh berantakan.
Menurut kepercayaan orang bahwa kapal Dampo Awang tersebut hancur luluh
ketanah tepat di atas Bancaran (artinya, bâncarlaan), Bangkalan. Sementara Piring
Dampo Awang jatuh di Ujung Piring yang sekarang menjadi nama desa di Kecamatan
Kota Bangkalan. Sedangkan jangkarnya jatuh di Desa/Kecamatan Socah. Dan
menurut cerita bahwa Sam Poo Tualang tersebut adalah seorang Laksamana Cina
yang bernama Cheng Hoo.
4. Sewaktu Sultan Agung memimpin Mataram, Ia menjalankan politik pemerintahan untuk
mempersatukan Jawa dan Madura, bahkan ingin mempersatukan seluruh kepulauan
Nusantara, agar Kompeni sukar melebarkan sayapnya. Karena itu Sultan Agung
kadang-kadang menjalankan politik kekerasan. Dalam tahun 1614 Surabaya
ditaklukkakn, demikian pula Pasuruan dan Tuban. Akhirnya dalam tahun 1624, Madura
mendapat giliran. Pendekatan yang kurang bijaksana menimbulkan peperangan yang
dahsyat. Tentara Madura yang berjumlah 2.000 orang melawan pasukan Mataram yang
berjumlah 50.000 orang. Perjuangan Rakyat Madura menunjukkan keberanian yang
luar biasa, baik pria maupun wanita maju ke garis depan.
Sebanyak 6.000 orang tentara Mataram dapat ditewaskan, tetapi Sultan Agung tidak
putus asa, yang gugur segera diganti. Akhirnya Madura dapat ditaklukkan.
Satu-satunya keturunan raja Madura yang masih hidup adalah Raden Praseno yang
masih belum dewasa. Ia dibawa ke Mataram oleh Sultan Agung dan setelh dewasa
dikawinkan dengan salah seorang putri adik Raja Mataram.
Dalam jaman Sultan Agung, Mataram ditakuti oleh Kompeni Belanda, tetapi setelah
Amangkurat I berkuasa, Kompeni menjalankan politik pecah belah dan Amangkurat I
tidak mempunyai kewibawaan.
Pangeran Alit (adiknya sendiri) dicurigai dan diperintahkan untuk ditangkap dan
dibunuh. Raden Maluyo ayah dari Trunojoyo juga menjadi korman.
Akhirnya juga Cakraningrat I (Raden Praseno), penasehat umum kerajaan menjadi
korban pembersihan.
Trunojoyo maju ke depanhanya karena terdorong untuk membasmi ketidakadilan,
kemungkaran dan anti penjajahan. Bukan kekuasaan dan kedudukan yang menjadi
tujuan hidup Trunojoyo, dan ini terbukti waktu mahkota kerajaan Majapahit ada
ditangan kekuasaannya. Mahkota ini secara turun-temurun jatuh ketangan raja-raja
yang menguasai Jawa. Trunojoyo tidak pernah menempatkan mahkota Majapahit
diatas kepalanya, pun juga tidak pernah menamakan dirinya sebagai Sesuhunan.
Mahkota yang ada ditangannya dikembalikan kepada Susuhunan, asal saja
Susuhunan mau ke Kediri dengan tidak berteman dengan Belanda (artinya :
Amangkurat II diminta untuk memutuskan hubungannya dengan Belanda).
5. dalam abad ke 18 Kompeni Belanda mengadakan pembatasan-pembatasan serta
penindasan-penindasan yang makin merajalela terhadap kekuasaan raja-raja dan
rakyat Madura, sehingga di Madura Barat telah terjadi suatu perlawanan yang dipimpin
oleh Cakraningrat IV. Tetapi perlawanan tersebut dapat dipatahkan karena Kompeni
mendatangkan bala bantuan dari Batavia. Cakraningrat IV terus menyingkir ke
Banjarmasin, tetapi akhirnya tertangkap pula disana, Cakraningrat IV terus dikirim ke
Kaap de Goede Hoop, dan ia meninggal dunia disana pada tahun 1759.
Orang Madura memberinya nama Pangeran Sidengkap, karena Cakraningrat IV
meninggal dunia di tempat pengasingannya yakni Kaap de Goede Hoop.
6. dalam masa pemerintahan Jepang, sejak tanggal 18 Agustus 1942, kekejaman tentara
Jepang yang menginjak-nginjak nilai dan martabat rakyat Madura, serta
keangkaramurkaannyatelah menimbulkan penderitaan yang membebani rakyat,
sehingga ada tahun 1943 telah berkobar suatu pemberontakandi Desa Prajan,
Sampang yang dipimpin pesantren setempat. Kemudian ia dan serta
pemimpin-pemimpin pesantren lainnya ditangkap dan ditembak mati. Akhirnya atas
campur tangan Panglima Tentara Jepang (Seiko Sisikan) di Jakarta, mereka yang
masih ditahan dibebaskan kembali dan pembantaian lebih lanjut dapat dihentikan.
Dikutip dari :
Buku Perjuangan Kemerdekaan Republik Indonesia di Madura
http://www.bangkalan-memory.net/content/view/163/1/
0 comments:
Posting Komentar